Di Mojo Kopi


Oleh Agung Marsudi


SAMBIL menunggu, matahari jingga yang mulai bercampur gumpalan awan bersepuh emas, di Mojo Kopi, seberang toko Merak, Sragen, saya bisa menikmati kerenyahan Chicken Schnitzel, sajian ayam goreng pipih, khas Jerman.


Di meja nomor urut 3, saya bersandar, di dinding pring, desain interior cafe yang natural.


"Tidak ada harta pusaka yang sama berharganya dengan kejujuran," menirukan pesan Bung Hatta. Saya belajar jujur hari ini. Dua jam berputar mengukur jalan di bumi Sukowati, setelah kemarin dari Ngawi, Jawa Timur. Badan perlu diistirahatkan, menunda kesibukan, menenangkan pikiran.


Classic tea di Mojo Kopi, rasanya juga beda. Terasa nyes, ada kelat yang menggoda.


Tiga hari ini, tak ada "mood booster" yang membuat mata setajam elang, vitalitas sekencang kuda, hanya samar terdengar ada nama Ganjar, petugas partai yang kini gubernur Jawa Tengah, dan diumumkan oleh Mega, sebagai capres partainya (23/4).


"Idih!" Partai moncong putih, memilih si rambut putih, kata Si Icih, penggemar film mejikuhibiniu.


Di Mojo Kopi, saya jadi teringat deretan rumah-rumah tua, kompleks pabrik gula, PG Mojo, Sragen. Teringat Pithecanthropus Mojokertensis. Teringat kejayaan Mojopahit.


Kita sedang berlari dari Mojokertensis, ke Jakartensis, ke IKNensis. Mengaku homo digitalis, tapi mendewakan gedung-gedung, megaproyek ling dan lung, lalu ramai didukung para lebah partai yang terus berdengung.


Mbah Mojo bilang, "untuk bahagia gak perlu negara, untuk sejahtera gak butuh pilkada".



Sragen, 30 April 2023

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.